You are currently viewing Insecure Versi Si Karyawan

Insecure Versi Si Karyawan

Yakinlah bahwa dibalik segudang fasilitas, tunjangan, outfit kece, dan gemerlapnya kehidupan kantoran, ada mereka-mereka yang tiap malam susah tidur bahkan sampai masuk keluar rumah sakit akibat stress mikirin kerjaan.

Penyebabnya mungkin karena banyaknya kerjaan yang harus diselesaikan menjelang deadline atau karena “beban psikis” yang harus ditanggung karena jabatan.

Sudah barang tentu semakin tinggi level atau jabatan seseorang di sebuah perusahaan, maka semakin besar juga tanggung jawab yang diemban.

Sadar akan hal itu beberapa orang malah tidak berambisi mengejar jabatan yang tinggi-tinggi.

“Wes pokoknya digaji, cukup” 😜

Risiko Jabatan: Harga Dari TTD

Mantan rekan sekantor saya kena denda Rp1 miliar, akibat tanda tangan. Ini kisah nyata.

Mungkin tidak ada yang menyangka, bahkan dirinya sendiri pun tidak. Niat kerja untuk bisa dapat gaji sekedar untuk memenuhi kebutuhan malah harus kena kasus.

Ceritanya bermulai ketika dirinya “diangkat” menjadi Direktur di perusahaan. Namun istilah pepatah di atas langit masih ada langit itu benar adanya.

Siapa yang lebih tinggi dari seorang Direktur? Komisaris.

Siapa yang lebih tinggi dari seorang Komisaris? Pemegang saham atau owner.

Karena satu dan lain hal, si owner meminta dia untuk menandatangani sebuah dokumen dan menjamin bahwa dokumen tersebut bukanlah dokumen yang sifatnya penting atau rahasia.

Siapa yang bisa menolak owner sih? Kecuali kalau mau diminta cari kerjaan lain.

Singkat cerita setelah selang beberapa waktu, perusahaan tadi kena kasus fraud. Sampai ke pemeriksaan ke Bareskrim.

Ujung-ujungnya ditemukanlah dokumen tadi dan rekan saya itu dinyatakan bersalah dan harus membayar sejumlah denda yang angkanya fantastis.

Itulah namanya risiko jabatan, salah satu dari banyaknya risiko jadi karyawan.

Semua hanya karena tanda tangan 😢

Take It or Leave

Ketika menghadapi kondisi-kondisi tertentu seperti di atas terkadang kita tidak memiliki banyak pilihan.

Pilihannya hanya ada 2. Masih mau digaji atau cari tempat lain?

Contoh lain. Kisah nyata juga.

Kantor menerapkan sistem baru terkait cuti dan penilaian kinerja pegawai.

Seperti biasa banyak karyawan yang merasa kebijakan baru ini tidak menguntungkan karyawan. Kemudian mulailah aspirasi disuarakan. Hasilnya?

Beberapa aspirasi didengarkan oleh manajemen, beberapa tidak sehingga menimbulkan ketidakpuasan bagi beberapa orang. Beberapa mencari komparasi kebijakan perusahaan lain untuk dibanding-bandingkan dengan kebijakan perusahaan.

Karyawan pada titik tertentu tidak berdaya memaksakan kehendak mereka kepada para petinggi atau manajemen.

Simply karena karyawan is karyawan, bukan owner.

“Ya kalau merasa perusahaan lain lebih baik, silahkan kerja di sana”. Itulah mantra saktinya.

So take it or leave.

One Man To Satisfy

Tanpa sadar kita sedang berlomba-lomba untuk menyenangi atasan.

Apa pun asal bapak senang. Bapak gak senang, jabatan melayang. Bapak gak senang, gaji naik di bawah inflasi.

Tampaknya nasib perkaryawanan kita tergantung pada atasan. Itulah risiko pekerjaan, jika hanya satu orang yang berkuasa menentukan nasib kita.

Sebaik apa pun mungkin kita bekerja, jika ada satu saja pekerjaan yang membuat atasan tidak puas ujung-ujungnya berakhir pada penilaian kinerja yang tidak sempurna.

Risiko Sepadan Gaji?

Jelaslah orang-orang yang bekerja di daerah tambang atau offshore gajinya pada gede-gede, wong risikonya tinggi.

Tapi ada juga kerjaan yang gajinya gak seberapa tapi risikonya tinggi.

Biasanya taunya kalau pekerjaan itu risiko tinggi ketika sudah “nyemplung”. Tau-taunya pekerjaannya tidak sesuai job des atau penjelasan di awal.

Banyak contoh, misal nama dipakai sebagai penanggung jawab hanya karena memiliki izin tertentu. Alasannya biar “patuh” pada peraturan dll. Secara tidak langsung dipaksa untuk tanggung jawab.

Ah, andai ada ya kerjaan yang risikonya kecil tapi gaji nya gede 😜

 

Tinggalkan Balasan