You are currently viewing Bosen Boleh, Resign Jangan

Bosen Boleh, Resign Jangan

Pada tahap ini saya termasuk orang yang anti resign.

Biasanya tahapan genting karyawan itu ketika berada pada 4 kondisi berikut: sudah menikah, punya anak, punya cicilan, dan umur sudah di atas kepala 3.

Jadi rasanya wajar kalau udah gak mikirin resign. Wong tanggungannya banyak. Plus, harus menyesuaikan lagi dengan lingkungan kerja yang baru, suasana baru, dan rekan-rekan yang baru.

Tidak Melulu Soal Gaji

Lalu mungkin ada yang bertanya, “Kalo ada tawaran kerja dengan bayaran yang lebih tinggi, masih yakin gak mau resign?”

Secara logis, rasa-rasanya gak masuk akal kalau ada tawaran kerja bagus (gaji besar) lalu tidak diambil.

Argumen saya soal ini cukup sederhana. Karena kerja tidak melulu soal jumlah gaji.

Mau gaji tinggi tapi gak bisa ada waktu untuk keluarga? Mau gaji tinggi dengan segala benefitnya tapi tiap 3 bulan harus opname gara-gara kecapean?

Beda orang, beda prioritas kerja tentunya. Untuk saya gak perlu gaji tinggi tapi ujung-ujungnya kerja gak nyaman.

Yang dicari saat ini itu hanya kerja nyaman, tenang. Terlebih lagi karena kita sudah tau karakteristik atasan atau bos, sudah paham maunya apa dan bagaimana.

Buru-Buru Resign, Kena Zonk 😪

Tapi ya itu, it’s easier said than done.

Saya punya pengalaman menarik soal resign.

Dulu ketika jiwa idealisme sebagaiseorang karyawan baru lagi panas-panasnya, saya nekat resign. Dengan pertimbangan “Ah dengan kapasitas gue kayak gini, harusnya gue bisa dapat pekerjaan yang lebih layak dan bayaran yang tinggi…bukan malah ngerjain kerjaan yang receh kayak gini”

Kemudian dengan pede-nya ngajuin surat resign ke HRD.

Dengan modal idealisme sesat tersebut, saya bersiap menyambut kerjaan baru-bayaran tinggi di perusahaan bonafit.

Hasilnya?

Zonk. Saya fix jadi pengangguran selama 6 bulan. Tabungan menipis, hubungan dengan istri cenderung miris.

Ternyata mencari pekerjaan bayaran tinggi di perusahaan bonafit tidak mudah, saingannya kelas berat.

Ujung-ujungnya karena keadaan, rela downgrade gaji hanya untuk dapat kerjaan.

Pasar Persaingan Bebas Dunia Kerja

Udah buru-buru resign eh taunya harus nganggur lama karena gak ada perusahaan yang mau terima.

Terkadang diri ini sangat idealis dan merasa sangat jago, juga percaya diri, bahwa akan ada perusahaan yang mau menerima.

Ini juga yang jadi alasan kenapa jangan buru-buru resign.

Harus paham di luar sana banyak loh orang yang dengan skill yang sama bahkan lebih dari kita, rela dibayar standar agar bisa diterima bekerja.

Sama seperti pasar, orang dengan skill bagus rela banting-bantingan harga biar bisa kerja.

Perusahaan pasti nyari talent yang bagus tentunya, dengan skill dan kemampuannya. Di satu sisi perusahaan akan lebih senang menerima orang dengan skill tinggi dan dibayar standar.

Setidaknya ada 2 pertanyaan yang perlu ditanyakan ke diri sendiri sebelum mantap resign:

Pertama, apakah sudah cukup skill dan pengalaman untuk apply pekerjaan yang dituju?

Kedua, apakah ada bukti atau prestasi dari skill atau keahlian yang dianggap bisa menjadi nilai tukar kita ke perusahaan?

Daripada Resign, Mending …

Pasti ada lah rasa bosen dengan kerjaan sekarang.

Dalam kebosanan ini kenapa gak coba kegiatan lain, misalnya belajar ketrampilan baru yang bisa meningkatkan “harga diri” kita di pasaran tenaga kerja, atau sekedar membuat curiosity project.

Curiosity project dapat berupa hasil kerja dari penerapan ketrampilan baru yang dipelajari. Contohnya curiosity project saya adalah membuat personal blog.

Jadi yang saya lakukan adalah mempelajari cara pembuatan blog melalui internet dan mencoba untuk mempratekannya.

Atau bisa jadi malah membuat bisnis sampingan 😎

Intinya daripada buru-buru resign gara-gara udah bosan, yuk cari cara agar otak ini dipaksa terus bekerja. Yaitu melatih otak dengan hal-hal atau tantangan-tangangan baru.

Gunakan sebagian waktu bosan di kantor untuk hal-hal yang positif, yang bisa meningkatkan “harga diri”. Sesimpel itu.

Bosen boleh, resign jangan dulu.

 

 

 

Tinggalkan Balasan