Di gedung kantor baru saja dibuka outlet caffe yang berlogo kucing.
Ternyata merek kopi yang berlogo kucing ini cukup terkenal sehingga outlet ini ramainya minta ampun, ditambah lagi itu merupakan cafe outlet satu-satunya di gedung kantor.
Yang menarik perhatian saya adalah strategi promosinya.
Setiap pembeli baru akan diberikan 5 voucher kupon potongan harga sebesar Rp10ribu yang berlaku untuk beberapa jenis minuman kopi. Dan Anda akan diberikan 5 voucher kupon lagi ketika membeli dengan voucher yang pertama.
Akibatnya di meja kerja saya ada 13 voucher yang sayang banget kalau tidak dipakai.
Apakah bagi-bagi voucher ini merupakan strategi untuk meningkatkan omset? Jelas bukan.
Apakah agar orang-orang tahu atau ngeh bahwa ada outlet caffe baru? Mungkin.
Apa lagi kira-kira alasan strategi bagi-bagi voucher ini dipilih?
Dengan ada 13 voucher, secara logis akan sangat disayangkan jika tidak gunakan. Yang kemudian membuat saya akan membeli secangkir kopi lagi. Paling tidak sebanyak 13 kali, bahkan lebih jika setiap membeli saya diberikan 5 voucher lagi.
Ternyata yang disasar adalah kebiasaan atau habit.
Voucher menjadi insentif untuk membuat habit yang baru, yaitu ngopi. Bagi-bagi voucher, beli 1 dapat 5 voucher, memaksa kebiasaan kita untuk kembali lagi ke outlet untuk membeli kopi, paling tidak selama 5 kali.
Sehingga voucher dijadikan alat untuk memanipulasi kebiasaan, yang awalnya tidak ngopi menjadi harus ngopi.
Karena ternyata manusia adalah makhluk pola, artinya tindak laku manusia didorong oleh kebiasaan. Misal, bangun pagi di jam tertentu, pergi ke kantor melewati rute tertentu, bahkan untuk urusan toilet harus ke bilik tertentu yang seudah biasa.